13 Mei 2009

"Bukan Cinta Biasa": Film Komedi Yang Diam-Diam Berdakwah

Selama ini, yang dianggap dakwah adalah yang penuh dengan simbol-simbol Islam, seperti jilbab, istilah-istilah berbahasa Arab, dan sebagainya. Padahal, tanpa dipenuhi dengan simbol-simbol seperti itu pun kita masih dapat berdakwah. (Lihat "Nikah siri eh, Dakwah siri, yuk!!".) Salah satu buktinya adalah film "Bukan Cinta Biasa" yang dibintangi oleh Olivia Lubis Jensen, Ferdy 'Element' Taher, Wulan Guritno, Rocky, dan juga penyanyi yang sedang naik daun, Afgan Syah Reza.

Mau tahu gambar poster, movie trailer, klip video lagu OST (Original Soundtrack), dan berita-beritanya? Silakan klik di sini.


Baca selengkapnya...

06 Mei 2009

Video: Ajaib! Mobil Balap Berbahan Bakar Limbah Cokelat

Alternatif bahan bakar ramah lingkungan bisa dari bahan apa saja bahkan yang mungkin tak terpikirkan sama sekali sebelumnya. Kalau di Indonesia pernah diperkenalkan jelantah atau minyak goreng bekas pakai sebagai bahan bakar mobil, di London, Inggris para ilmuwan menggunakan coklat sebagai bahan bakar.

Baca selengkapnya...

Baca selengkapnya...

03 Mei 2009

Sosok Wanita Paling Sempurna

Sosok Wanita Paling Sempurna
Jawa Pos, 13 April 2009
Oleh : Yason Taufik Akbar, mahasiswa Unair

Ibu, aku mencintaimu seperti tumbuhan yang urung mekar dan membawa jiwa bunga-bunga itu di dalam dirinya. Karena cintamu, aroma bumi yang pekat tumbuh diam-diam dalam tubuhku.

Saat aku menulis naskah ini, hujan tiba-tiba turun dengan dahsyat. Rumahku yang atapnya hanya berlapis seng tentu menjadi sangat ribut. Sangat kontras dengan alunan musik instrumen yang aku dengar dari radio bututku.

Konsentrasiku memang pecah. Tapi, angin semilir yang merembet melalui celah kapiler dinding rumahku membantuku tetap fokus. Bagaimana tidak menembus, dindingnya saja terbuat dari anyaman bambu.

Korneaku lalu berputar. Mencari, lalu meraih titik pandang terkecilnya menuju sebuah kertas kusam. Aku melindunginya dengan badanku agar bocoran air hujan tidak jatuh ke atas kertas ini.

Ya, karena saat ini aku hanya ingin menceritakan tentang ibuku di atas kertas ini. Ibu yang punya sejuta kasih sayang untukku. Ibu yang selalu dengan ikhlas memberi -dan seperti kata lagu-, beliau tak pernah mengharap kembali.

Aku seorang bocah laki-laki yang dilahirkannya 12 tahun silam. Beliau merawatku dengan ketulusan hatinya. Dia selalu memberikan kasih sayang tersempurna padaku.

Masih kuingat jelas, saat dia menggandengku sendirian pada suatu malam. Saat itu bapak sedang merantau ke negeri orang. Aku masih berusia tujuh tahun. Rumah kami luluh lantak dengan tanah karena kena gusur.

Kami berjalan kaki jauh sekali. Di tengah malam yang sunyi dan hujan lebat itu, dia masih sempat menutupiku dengan selimut kami satu-satunya. Kami pergi tanpa arah. Guratan wajahnya sayu. Dari caranya berjalan, dia tampak sangat letih. Buntalan besar berisi pakaian kami memberatkan punggungnya yang tegar.

Ibu berbisik lembut kepadaku. ''Sabarlah Nak. Kita akan segera berteduh. Berhentilah menangis. Ibu akan selalu melindungimu," katanya lalu menitikkan air mata. Air mata itu sebenarnya sudah tidak kentara. Sebab, pipinya basah terguyur air hujan.

Suara ibu lembut sekali. Menenangkan setiap relung jiwaku. Hingga dinginnya malam pun tak dapat menusukku. Perutku yang sedari pagi hanya terisi makanan sisa pun jadi mendadak kenyang. Aku hanya tak ingin melihat ibu menangis lagi.

Jauh sekali kami berjalan hingga hujan telah berhenti. Karena terlalu capai, ibu memutuskan untuk beristirahat di sebuah masjid kecil. Entah sekarang ini kami berada di mana. Yang jelas, di masjid itu, kami membersihkan diri.

Setelah bersih, ibu meraih mukenah milik masjid. Dia melaksanakan salat. Sementara itu, aku tertidur di sampingnya. Dalam sayup-sayup, kudengar ibu berdoa untuk keselamatan bapak di negeri orang. Ibu juga berdoa untuk kami.

Kalau aku diizinkan berbicara oleh Allah, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sayang ibu. Aku tak ingin melihat ibu menangis lagi. Aku hanya ingin ibu mendapatkan yang terbaik. Tanpa terasa, air mataku pun jatuh. Aku menutupinya karena aku tak ingin ibu sedih melihatku.

Aku memang seorang tunawicara. Tuhan memberiku anugerah seperti ini sejak lahir. Hanya ibu yang selalu membangkitkan semangatku. Ibu yang selalu mengajakku berinteraksi sehingga aku tahu bahwasannya dunia amatlah luas.

Usapan lembut di kepalaku mengusik tidurku. Ternyata itu adalah tangan bapak. Ah..ternyata lagi-lagi aku bermimpi. Bapak berkata kepadaku, ''Sudahlah, Nak. Tak usah kau menangis lagi. Biarkan ibu tersenyum karena melihatmu tersenyum di sini."

Ibu meninggal dua tahun lalu. Dia mengalami kecelakaan saat hendak membeli makanan untukku. Begitu ayah mendengar kabar itu, dia bergegas pulang. Kini aku tinggal bersama ayahku.

Kuraba wajahku, mataku sembap. Ternyata aku menangis lagi. Sedangkan kertas yang hendak kugunakan untuk menceritakan tentang ibuku masih kosong. Kulihat pensilku terjatuh di bawah meja.

Aku sangat ingin menulis tentang ibu. Menuangkan kisah ini untukmu, kawan. Namun, aku tak mampu. Aku buta huruf. Kertas ini menjadi kusam karena tiap malam kuhujani air mata.

Sekarang aku hanya dapat menggumam. Menangis lagi menerima kenyataan ini.


Baca selengkapnya...

17 April 2009

Caleg Teladan: Walau gagal, tetap peduli warga miskin

Gagal Jadi Caleg, Junaedi Manurung Bagi-bagi Uang dan Sembako
Jumat, 17/04/2009 02:13 WIB
Khairul Ikhwan - detikPemilu

Jakarta - Meski gagal merebut kursi legislatif DPRD Medan, caleg Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) Junaedi Manurung tetap peduli warga miskin di daerahnya. Dia membagi-bagikan uang dan sembako, Kamis (16/4/2009).

Caleg nomor urut 11 Daerah Pemilihan (Dapem) Medan 1 ini membagikan uang pecahan Rp 1.000 kepada puluhan anak dari keluarga miskin di kawasan Mandala, Medan Denai. Sementara kepada keluarga kurang mampu, Manurung memberikan sembako berupa beras sebanyak dua kilogram.

Menurut mantan polisi yang memilih pensiun muda ini, keikutsertaan dalam Pemilu 2009 sebagai caleg bukan semata-mata berharap duduk sebagai anggota dewan, namun hanya sebagai jalan untuk membantu masyarakat kurang mampu.

"Sebagai caleg bukan semata-mata untuk menang, tapi biar bisa membantu orang banyak," kata Manurung.

Manurung menyatakan, pada Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif 9 April lalu, ia hanya memperoleh tidak lebih dari 600 suara di daerah pemilihannya. Jauh dari cukup untuk tiket menjadi anggota DPRD Medan. Ketika ditanya dana yang telah dihabiskan saat kampanye, Manurung hanya tersenyum. Ayah tiga anak ini hanya mengatakan, dana yang dihabiskan tidak sedikit.

Bantuan sembako membuat Junaedi menuai simpati dari masyarakat, terutama warga penerima sumbangan. Warga berterima kasih dan berdoa agar Manurung tabah karena gagal menjadi anggota dewan.

"Walau tidak menang, semoga Pak Manurung tidak stres, panjang umur dan sehat selalu," ucap Tiurlan, salah seorang penerima bantuan.

( rul / anw )


Baca selengkapnya...

07 April 2009

Resep Panjang Umur ala Orang Tertua di Dunia (115 tahun)

Mau, nggak, panjang umur sampai lebih dari 100 tahun? Nih, ada resepnya dari Gertude Baines yang kemarin berultah ke-115. Resepnya: Budayakan hidup sehat. Caranya, antara lain, tidak merokok dan tidak mengonsumsi minuman keras. Selain itu.... Ini dia berita selengkapnya:

Orang Tertua di Dunia Ulang Tahun ke-115, Obama Ucapkan Selamat

LOS ANGELES - Orang tertua di dunia merayakan ulang tahunnya ke-115 di Los Angeles Amerika Serikat, Senin waktu setempat. Presiden Barack Obama turut memberikan ucapan selamat melalui surat.

Diberitakan AFP, Selasa (7/4/2009), Gertude Baines, menjadi orang tertua di dunia versi Guinness Book of World Records menggantikan wanita asal Portugal, Maria de Jesus yang meninggal pada Januari lalu. Maria berusia hampir sama dengan Baines. Ulang tahun Baines sendiri dirayakan di Rumah Sakit Western Convalescent.

Bagi Obama, Baines merupakan sosok wanita yang berharga. Baines menjadi warga AS kulit hitam tertua yang mendukungnya menjadi Presiden AS pada November tahun lalu.

Pada perayaan ulang tahunnya, Baines kembali mengatakan, dia akan mendukung Obama lagi menjadi presiden pada pemilihan 2012.

"Keluhannya kepada saya ada dua: Pertama, dia tidak suka daging babi karena tidak cukup garing. Kedua, dia mengaku menderita radang sendi pada lutut," kata Charles Witt, dokter yang merawatnya kepada stasiun televisi lokal KCAL9.

Baines juga mengaku membudayakan hidup sehat dengan tidak mengonsumsi minuman keras dan merokok.

Baines lahir di Shellman pada 1894 dari seorang ayah yang menjadi budak. Kini seluruh keluarganuya telah meninggal.

Baines sempat bekerja di asrama Universitas Ohio sampai pensiun. Masa hidupnya selama 10 tahun terakhir dihabiskan di Rumah Sakit Convalescent.


Baca selengkapnya...

28 Februari 2009

Balada Seorang Pencopet Amatir

Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, Umay melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah Umay. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.

Dada Umay berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung Umay yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga Umay? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak Umay?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Umay berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, Umay mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, Umay hanya seorang diri. Kang Yayan, suami Umay, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah Umay itu menodong, Umay bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Umay sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Umay punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Umay memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi di zaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?

Umay masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Umay masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas di pikiran Umay untuk menelepon tetangga. Tapi Umay takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.

Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung Umay mengencang kembali. Umay memang mengidap penyakit jantung. Tekad Umay untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki Umay tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, Umay ingat, Umay pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Umay masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki Umay masih lemas.

Umay pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Umay pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, Umay ada yang menabrak, Umay hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului Umay. Umay jengkel, apalagi begitu sampai di rumah Umay tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet Umay lewat celah di atas pintu. Setelah Umay periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu Umay simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama Umay melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun Umay pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu Umay menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Umay baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati Umay itu. Isinya seperti ini:


Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.


Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali Umay baca. Berhari-hari Umay mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika Umay menanyakannya.

Lelah mencari, di bawah pohon rindang, Umay membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat Umay tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan Umay.

Umay tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, Umay tidak segembira biasanya.Umay malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.

Kang Yayan dan kedua anak Umay mungkin aneh dengan sikap Umay akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati Umay tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan Umay untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Umay menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat Umay ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi Umay ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan Umay sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi Umay bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak Umay, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.

Di stopan terakhir yang mereka kunjungi, Umay mengajak Kang Yayan dan kedua anak Umay untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata Umay.

Yuni menghampiri Umay dan bilang, “Mama, Umay bangga jadi anak Mama.” Dan Umay ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

-------
Sumber: "Setan atau Malaikat"


Baca selengkapnya...

25 Februari 2009

Suksesnya Film "3 Doa 3 Cinta"



Pasangan aktris-aktor Dian Sastrowardoyo dan Nicolas Saputra pernah sukses dengan film yang mereka bintangi, "Ada Apa dengan Cinta". Kali ini, mereka juga sukses bermain bersama dalam sebuah film yang juga romantis. Namun, filmnya kali ini lebih "dewasa". Film ini mengisahkan 3 remaja santri yang hidup di sebuah pesantren di daerah Jawa Tengah. Tiga remaja tersebut memiliki rencana hidup mereka masing-masing setelah lulus dari pesantren. Film ini di buat di daerah Muntilan - Magelang. Pesantren yang ada di film ini adalah Pesantren Pabelan Magelang. Judulnya: "3 Doa 3 Cinta". Bagaimana kesuksesannya?

Simak selengkapnya...

Baca selengkapnya...

cerita « WordPress.com

Koran Republika :: Dialog Jumat

BBCIndonesia.com - Laporan Mendalam

Home | About Me | Contact

Copyright © 2008 - M Shodiq Mustika

Header Image credit: adapted from Memoirs of a Geisha Wallpapers

  © 2009 True Story template by M Shodiq Mustika

Back to TOP