03 Januari 2009

Mahasiswa vs Sopir Metromini

Filsuf besar Yunani Aristoteles pernah mengatakan “Siapapun bisa marah, tetapi marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah”. Pernyataan sang filsuf ini terbukti kebenarannya pada sebuah kejadian yang dialami oleh Amril Taufiq Gobel alias Daeng Battala’ sebagai berikut.

Dari tempat kos di Cawang, Daeng bermaksud menumpang Metromini ke Mall Kalibata untuk membeli buku.

Matahari bersinar sangat terik waktu itu. Rasanya ubun-ubun kepala bagai terbakar. Daeng merutuk kesal lupa membawa topi yang sudah Daeng siapkan sebelumnya dikamar kos.

Saat akan turun, terjadilah musibah itu. Bis yang Daeng tumpangi itu melaju kencang sebelum kaki Daeng benar-benar menapak kokoh dijalan. Tak ayal Daeng pun jatuh terguling-guling diatas aspal. Masih untung, Daeng memiliki “peredam kejut” yang lumayan mumpuni berupa bokong yang padat montok sehingga ketika tubuh jatuh berdebum di aspal tidak terlalu menghasilkan akibat yang parah.

Tapi tetap saja sakit.

Celana Jeans Daeng kotor dan ditambah rasa malu bukan main disaksikan sejumlah orang yang berada di depan mall.

Kemarahan Daeng seketika memuncak. Daeng lalu berlari mengejar Metromini itu yang kebetulan sedang berjalan pelan karena tepat didepannya ada pintu perlintasan kereta api. Akhirnya Daeng berhasil naik ke atas metromini dan langsung menuju tempat pengemudi berada.

Dengan geram Daeng langsung mencengkram kerah kaos kumal supir yang berperawakan lebih kecil dari Daeng itu seraya menatap tajam kepadanya. Sang kondektur mencoba membantu tapi ia tidak berani ketika Daeng sudah memasang kuda-kuda untuk menghajarnya bila ia mau mendekat. Daeng telah siap menerapkan ilmu beladiri yang pernah Daeng pelajari untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk. Termasuk resiko bila dikeroyok.

Sang supir sangat ketakutan. Daeng lalu melontarkan sejumlah makian pedas dan sumpah serapah terhadapnya telah memperlakukan penumpang secara tidak manusiawi, masih untung Daeng—lelaki muda, kekar dan sehat —yang jadi korban, bagaimana jika seorang ibu hamil, anak-anak atau orang cacat yang mengalami nasib serupa?.Bukankah hasinya akan lebih fatal?.

Berkali-kali si supir menyampaikan permohonan maaf dengan suara lirih. Ia menyatakan sedang mengejar setoran sehingga buru-buru menekan pedal gas sebelum Daeng betul-betul menjejakkan kaki dengan sempurna. Hampir saja tinju Daeng melayang ke wajahnya ketika beberapa orang penumpang datang melerai. Daeng turun dari Metromini dengan rasa puas telah melampiaskan kemarahan. Saat bis itu bergerak maju, Daeng masih sempat menendang bumper belakang bis dengan gemas.

Daeng memutuskan untuk membatalkan niat Daeng ke toko buku. Dengan kondisi celana kotor dan rasa sakit di bagian punggung serta bokong, maka pilihan terbaik adalah kembali ketempat kos, menenangkan diri sekaligus beristirahat. Sudah hilang “mood” Daeng mencari buku hari itu.

Sebelum tiba ke tempat kos, Daeng mampir sejenak di wartel terdekat. Menelepon orang tua Daeng di Makassar.

Di telepon, Daeng menceritakan apa yang baru saja Daeng alami pada ayah. Berapi-api dan penuh semangat, juga sekaligus menunjukkan “legitimasi” dan kebanggaan bahwa putra sulungnya yang merantau jauh ini berhasil “menaklukkan” Jakarta dengan menundukkan supir metromini yang ceroboh. Ayah hanya mendengarkan Daeng nyerocos panjang ditelepon.

“Kamu belum bisa menjadi seorang pemimpin yang baik, bahkan untuk dirimu sendiri sekalipun,” suara bariton ayah tiba-tiba terasa menikam hati begitu tajam di ujung telepon.

Daeng melongo.

Tak menduga malah mendapat tanggapan mengejutkan seperti ini.

“Kualitas kepemimpinanmu berada di level paling rendah, karena kamu tak mampu mengendalikan amarah. Camkan itu,” tegas ayah Daeng lagi.

Daeng mencoba berapologi bahwa apa yang Daeng lakukan tadi adalah bagian dari upaya Daeng untuk memberikan pelajaran pada sang supir Metromini untuk lebih berhati-hati, agar kejadian fatal serupa tidak terjadi lagi pada orang lain. Cukuplah Daeng saja yang jadi korban.

“Tindakanmu sudah benar,” kata ayah, ”tapi coba kamu pikir bagaimana bila kamu melakukannya dengan cara yang berbeda, bukan dengan cara koboi yang seperti kamu lakukan tadi.”

“Cara berbeda? Maksudnya, Pa?” tanya Daeng kebingungan.

Daeng mendengar helaan nafas panjang ayah Daeng diujung telepon.

“Kamu tetap mengejar dan menemui supir tadi lalu mengingatkannya—dengan kalimat yang lembut, bukan dengan rasa marah—bahwa tindakannya salah dan lebih berhati-hati dikemudian hari. Buka hatimu lebar-lebar dan cobalah berdamai dengan ketidaksempurnaan. Boleh jadi supir tadi mengejar setoran yang ditargetkan untuk biaya makan anak istrinya sehingga mesti buru-buru mencari penumpang lebih banyak atau supir tadi tidak mendengar aba-aba kondekturnya kamu mau turun atau ia sedang berada dalam fikiran yang kalut sehingga tak bisa berkonsentrasi penuh saat menurunkanmu sebagai penumpang, atau justru begini, coba kamu evaluasi kembali cara turunmu dari bis tadi, apakah sudah benar?. Dengan memahami ketidaksempurnaan yang terjadi pada supir itu dan pada kamu sendiri, tak akan ada alasan bagimu untuk marah begitu rupa”, tutur ayah Daeng panjang lebar di ujung telepon.

Daeng menggigit bibir.

Tapi jiwa muda Daeng memberontak, bagaimanapun Daeng tetap beranggapan, mesti dilakukan sebuah tindakan yang drastis serta sedikit anarkis, untuk menyadarkan tindakan ceroboh yang dilakukan oleh supir tadi.

“Kamu sudah sholat Dhuhur belum?” tanya ayah lembut, beliau seperti tahu apa yang sedang bergolak di batin Daeng.

“Belum,” sahut Daeng pelan.

“Coba kamu sholat Dhuhur dulu dikamar kos. Semoga dengan begitu, amarah yang melanda hatimu segera reda. Setan selalu berada didekat orang-orang marah. Telepon Papa lagi kalau kamu masih belum bisa tenang,” ujar ayah Daeng.

Setelah menutup telepon dan membayar biaya wartel, Daeng kembali ke kamar kos menunaikan sholat Dhuhur.

Diatas sajadah, usai sholat, Daeng menangis tertahan. Pelupuk mata Daeng basah dan dada disesaki keharuan mendalam.

Rasa sesal menyelinap perlahan dari hati. Daeng segera memohon ampun kepada Allah SWT atas kelalaian yang telah Daeng lakukan tadi. Emosi telah menguasai pikiran dan hati Daeng sehingga mengabaikan kesadaran untuk melakukan hal yang lebih rasional.

Ketika itu terjadi, tak ada satu pilihanpun dalam fikiran Daeng, kecuali membalas dan melampiaskannya. Rasa marah yang Daeng alami pada akhirnya menutup semua kemungkinan pilihan yang bisa Daeng raih seperti ketika Daeng tidak sedang marah.

Bila kemudian tadi Daeng berhasil memukul sang supir, se-“benar” apapun alasan tindakan Daeng, tetap saja faktanya Daeng telah menganiaya seseorang dan itu sudah melanggar hukum. Beruntunglah, Allah SWT masih melindungi Daeng dari tindakan konyol yang kontraproduktif itu.

=======
Sumber: Amril Taufiq Gobel, "BERDAMAI DENGAN KETIDAKSEMPURNAAN: SEBUAH KISAH TENTANG RASA MARAH"

1 komentar:

Anonim,  04 Januari, 2009 00:58  

Sampul blognya bagus. Saya suka Crouching Tiger Hidden Dragon.

cerita « WordPress.com

Koran Republika :: Dialog Jumat

BBCIndonesia.com - Laporan Mendalam

Home | About Me | Contact

Copyright © 2008 - M Shodiq Mustika

Header Image credit: adapted from Memoirs of a Geisha Wallpapers

  © 2009 True Story template by M Shodiq Mustika

Back to TOP