03 Mei 2009

Sosok Wanita Paling Sempurna

Sosok Wanita Paling Sempurna
Jawa Pos, 13 April 2009
Oleh : Yason Taufik Akbar, mahasiswa Unair

Ibu, aku mencintaimu seperti tumbuhan yang urung mekar dan membawa jiwa bunga-bunga itu di dalam dirinya. Karena cintamu, aroma bumi yang pekat tumbuh diam-diam dalam tubuhku.

Saat aku menulis naskah ini, hujan tiba-tiba turun dengan dahsyat. Rumahku yang atapnya hanya berlapis seng tentu menjadi sangat ribut. Sangat kontras dengan alunan musik instrumen yang aku dengar dari radio bututku.

Konsentrasiku memang pecah. Tapi, angin semilir yang merembet melalui celah kapiler dinding rumahku membantuku tetap fokus. Bagaimana tidak menembus, dindingnya saja terbuat dari anyaman bambu.

Korneaku lalu berputar. Mencari, lalu meraih titik pandang terkecilnya menuju sebuah kertas kusam. Aku melindunginya dengan badanku agar bocoran air hujan tidak jatuh ke atas kertas ini.

Ya, karena saat ini aku hanya ingin menceritakan tentang ibuku di atas kertas ini. Ibu yang punya sejuta kasih sayang untukku. Ibu yang selalu dengan ikhlas memberi -dan seperti kata lagu-, beliau tak pernah mengharap kembali.

Aku seorang bocah laki-laki yang dilahirkannya 12 tahun silam. Beliau merawatku dengan ketulusan hatinya. Dia selalu memberikan kasih sayang tersempurna padaku.

Masih kuingat jelas, saat dia menggandengku sendirian pada suatu malam. Saat itu bapak sedang merantau ke negeri orang. Aku masih berusia tujuh tahun. Rumah kami luluh lantak dengan tanah karena kena gusur.

Kami berjalan kaki jauh sekali. Di tengah malam yang sunyi dan hujan lebat itu, dia masih sempat menutupiku dengan selimut kami satu-satunya. Kami pergi tanpa arah. Guratan wajahnya sayu. Dari caranya berjalan, dia tampak sangat letih. Buntalan besar berisi pakaian kami memberatkan punggungnya yang tegar.

Ibu berbisik lembut kepadaku. ''Sabarlah Nak. Kita akan segera berteduh. Berhentilah menangis. Ibu akan selalu melindungimu," katanya lalu menitikkan air mata. Air mata itu sebenarnya sudah tidak kentara. Sebab, pipinya basah terguyur air hujan.

Suara ibu lembut sekali. Menenangkan setiap relung jiwaku. Hingga dinginnya malam pun tak dapat menusukku. Perutku yang sedari pagi hanya terisi makanan sisa pun jadi mendadak kenyang. Aku hanya tak ingin melihat ibu menangis lagi.

Jauh sekali kami berjalan hingga hujan telah berhenti. Karena terlalu capai, ibu memutuskan untuk beristirahat di sebuah masjid kecil. Entah sekarang ini kami berada di mana. Yang jelas, di masjid itu, kami membersihkan diri.

Setelah bersih, ibu meraih mukenah milik masjid. Dia melaksanakan salat. Sementara itu, aku tertidur di sampingnya. Dalam sayup-sayup, kudengar ibu berdoa untuk keselamatan bapak di negeri orang. Ibu juga berdoa untuk kami.

Kalau aku diizinkan berbicara oleh Allah, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sayang ibu. Aku tak ingin melihat ibu menangis lagi. Aku hanya ingin ibu mendapatkan yang terbaik. Tanpa terasa, air mataku pun jatuh. Aku menutupinya karena aku tak ingin ibu sedih melihatku.

Aku memang seorang tunawicara. Tuhan memberiku anugerah seperti ini sejak lahir. Hanya ibu yang selalu membangkitkan semangatku. Ibu yang selalu mengajakku berinteraksi sehingga aku tahu bahwasannya dunia amatlah luas.

Usapan lembut di kepalaku mengusik tidurku. Ternyata itu adalah tangan bapak. Ah..ternyata lagi-lagi aku bermimpi. Bapak berkata kepadaku, ''Sudahlah, Nak. Tak usah kau menangis lagi. Biarkan ibu tersenyum karena melihatmu tersenyum di sini."

Ibu meninggal dua tahun lalu. Dia mengalami kecelakaan saat hendak membeli makanan untukku. Begitu ayah mendengar kabar itu, dia bergegas pulang. Kini aku tinggal bersama ayahku.

Kuraba wajahku, mataku sembap. Ternyata aku menangis lagi. Sedangkan kertas yang hendak kugunakan untuk menceritakan tentang ibuku masih kosong. Kulihat pensilku terjatuh di bawah meja.

Aku sangat ingin menulis tentang ibu. Menuangkan kisah ini untukmu, kawan. Namun, aku tak mampu. Aku buta huruf. Kertas ini menjadi kusam karena tiap malam kuhujani air mata.

Sekarang aku hanya dapat menggumam. Menangis lagi menerima kenyataan ini.


0 komentar:

cerita « WordPress.com

Koran Republika :: Dialog Jumat

BBCIndonesia.com - Laporan Mendalam

Home | About Me | Contact

Copyright © 2008 - M Shodiq Mustika

Header Image credit: adapted from Memoirs of a Geisha Wallpapers

  © 2009 True Story template by M Shodiq Mustika

Back to TOP