20 Agustus 2008

Menikah dengan Bidadari

Dikisahkan bahwa musuh telah melanggar batas sebuah negeri Islam. Lalu Abu Ubaid Abdul Wahid bin Zaid, seorang khatib di Basrah, menyeru orang-orang untuk berjihad. Ia memaparkan berbagai kenikmatan di surga. Ia juga menggambarkan sifat bidadari yang ada di dalamnya.

Dialah cerahnya fajar yang tenang tapi riang

Diciptakan dari segala yang istimewa

Apakah kau tahu,

sang peminang mendengarkannya,

Duhai kekasih,

tidaklah aku lebih suka kepada selainnya

Jangan pernah kau serupai orang yang sungguh mendapatkannya

Yang melamarku dengan penuh alpa,

hingga orang-orang mengejeknya

Perbaikilah dirimu

Duhai andai ditolak darinya

Ketika piala itu diterbangkan bergilir

Lalu berakhir ketika hajatnya tuntas

seusai lari tak terkendali

Sesungguhnya yang berhasil melamarku

hanyalah orang yang berjuang terus-menerus.


Syair Abu Ubaid tersebut mampu mendongkrak semangat juang kaum muslimin untuk bersegera meraih surga melalui jihad. Seorang wanita renta pun keluar dari kerumunan menemui Abu Ubaid. Dia bernama Ummu Ibrahim al-Bashri.

Ia berkata, “Wahai Abu Ubaid, apakau engkau mengenal Ibrahim anakku? Ia telah dilamar oleh pejabat di Basrah untuk dijodohkan dengan anak perempuannya, tetapi kami tolak. Namun demi Allah, sekarang aku tertarik pada bidadari yang kau sebut tadi. Aku rela kalau bidadari itu menjadi pengantin bagi anakku. Maka ulangilah sifat-sifat yang kau ucapkan tadi agar ia pun tertarik padanya.”

Maka Abu Ubaid bertutur kembali:

Jika rembulan telah purnama di kala malam,

lihatlah keistimewaannya yang bak rembulan itu.

Senyumnya menyibak gigi yang indah,

laksana mutiara terpendam di lubuk samudera.

Andai alas kakinya menginjak kerikil,

niscaya tumbuhlah bunga darinya.

Kau bisa mengikat pinggangnya,

yang laksana dahan raihan berdaun hijau lebat.

Kalau saja ludahnya yang manis itu jatuh ke laut,

jadilah air laut itu minuman lezat bagi penduduk darat.

Allah inginkan matiku dalam kerinduan padanya,

dengan begadangnya mata

‘tuk raih kebaikan hidup sesudah mati.


Mendengar ucapan tersebut, orang-orang merasa terkesiap. Sontak mereka bertakbir.

Ummu Ibrahim beranjak bangun lalu berkata, “Wahai Abu Ubaid! Demi Allah, aku telah ridha atas bidadari itu sebagai pendamping Ibrahim. Apakah engkau mau menikahkan mereka sekarang juga, dengan mengambil dariku sepuluh ribu dinar sebagai maharnya? Semoga Allah menjadikannya pahlawan yang mati syahid, sehingga mampu memberi syafaat bagiku dan bapaknya di hari kiamat.”

Abu Ubaid berkata, “Baiklah. Aku bersedia. Semoga kalian berdua mendapat keberuntungan yang besar.”

Sang ibu berteriak, “Hai Ibrahim.. hai Ibrahim...”

Lalu seorang pemuda tampan berkelebat keluar dari kerumunan orang sambil berkata, “Baiklah, Ibu. Baiklah, Ibu.”

“Wahai anakku! Apakah kamu rela bidadari [yang sifatnya disebut] tadi sebagai istrimu, dengan jantungmu yang kau korbankan di jalan Allah sebagai maharnya?” tanya sang ibu.

“Baiklah, Ibu. Aku bersedia,” jawab Ibrahim.

***

Wanita itu bergegas menuju rumahnya guna mengambil uang sepuluh ribu dinar. Kemudian uang ini dibawanya ke tempat Abu Ubaid.

Di tempat ini, ia menengadah ke langit. Ia berdoa, “Ya Allah, saksikanlah! Kunikahkan anakku dengan bidadari. Sebagai maharnya, akan ia korbankan jantungnya dalam perang di jalan-Mu. Maka terimalah ini wahai Zat Yang Paling Pengasih.”

Kemudian kepada Abu Ubaid, ia berkata, “Sepuluh ribu ini dinar ini adalah mahar bagi bidadari itu. Berbekallah dengannya dalam berperang di jalan Allah.”

***

Lalu wanita itu pergi membeli kuda dan alat perang yang bagus dan bekal untuk perjalanan beberapa hari. Ketika hendak berpisah dengan anaknya, wanita itu mengalungkan kafan dan memberikan minyak—yang biasa ditaburkan ke tubuh jenazah—kepada anaknya. Ia menatap anaknya, seolah jantungnya membuncah keluar dari dalam dada.

Ia berpesan, “Kalau kamu bertemu dengan musuh, pakailah kain kafan ini dan taburkan minyak ini ke tubuhmu. Jangan sampai Allah melihatmu lalai di jalan-Nya.”

Ia mendekap anaknya. Ia memeluk dan menciumnya. Lalu ia berkata, “Pergilah, anakku. Allah takkan lagi mempertemukanku denganmu, kecuali kelak di hadapan-nya pada hari kiamat.”

Pergilah Ibrahim bersama pasukan. Pandangan sang ibu mengikutinya sampai dia tak lagi terlihat.

***

Ketika pasukan telah sampai di negeri musuh dan masing-masing telah siap tempur, dimulailah peperangan. Anak panah pun beterbangan mengiringi para pahlawan yang sedang berlaga. Ibrahim maju ke barisan terdepan.

Ibrahim berhasil menyusup ke barisan musuh. Ia berhasil membunuh lebih dari tigapuluh orang tentara musuh.

Musuh menyadari kekuatan Ibrahim ini. Mereka segera mengepungnya. Ada yang menombaknya, memukul, dan menerjangnya.

Ibrahim terus tegar mengerahkan perlawanan, sampai staminanya menurun. Ia pun terjatuh dari kudanya dan segera dihabisi lawan.

Akan tetapi, pertempuran itu berakhir dengan kemenangan kaum muslimin. Mereka berhasil memukul mundur musuh. Mereka pun pulang kembali ke Basrah.

***

Sesampainya di Basrah, para penduduk keluar menyambut mereka. Ummu Ibrahim ada di kerumunan itu. Ia menatap tajam ke setiap personil pasukan. Sewaktu melihat Abu Ubaid, ia menghampirinya.

Ia bertanya, “Wahai Abu Ubaid! Apakah Allah menerima hadiahku, sehingga aku bahagia? Ataukah Ia mengembalikannya, sehingga aku kecewa?”

Abu Ubaid menjawab, “Allah menerima hadiahmu. Aku berdoa semoga sekarang anakmu tinggal bersama para syuhada yang dirahmati.”

Seketika itu, Ummu Ibrahim berteriak kegirangan. “Alhamdulillaah. Allah mengabulkan keinginanku dan menerima pengabdianku.”

Dengan riang gembira, ia berlari pulang ke rumah—yang kini ia tinggali sendirian sesudah berpisah dengan anaknya. Ia menciumi kasur Ibrahim dan mendekap bajunya, hingga tertidur.

***

Keesokan harinya, Ummu Ibrahim bergegas menuju majlis Abu Ubaid. Sesampainya di sana, ia berkata, “Wahai Abu Ubaid! Bergembiralah, bergembiralah!”

“Engkau tak henti-hentinya bersuka-cita, hai Ummu Ibrahim. Apa yang terjadi?” tanya Abu Ubaid.

Wanita itu pun menjawab, “Semalam [dalam tidurku] aku melihat anakku telah berada di dalam taman yang indah. Di atasnya ada kubah hijau. Ia berbaring di atas kasur yang terbuat dari mutiara. Di atas kepalanya ada mahkota yang berkilauan. Ia berkata kepadaku, ‘Wahai Ibu, bergembiralah. Maharku telah diterima, dan pengantin pun telah bersanding’.”

*******

Sumber: Muhammad bin Abdurrahman al-Uraifi, Hadāiq al-Mawti (Parit Kematian).

1 komentar:

Anonim,  22 Desember, 2008 08:15  

masih adakah ibu-ibu setegar dan segagah Ummu Ibrahim, sekarang....

cerita « WordPress.com

Koran Republika :: Dialog Jumat

BBCIndonesia.com - Laporan Mendalam

Home | About Me | Contact

Copyright © 2008 - M Shodiq Mustika

Header Image credit: adapted from Memoirs of a Geisha Wallpapers

  © 2009 True Story template by M Shodiq Mustika

Back to TOP