19 Agustus 2008

Tulang mau patah, tapi terus berkarir di level internasional

Umur Gita Rusminda masih muda, baru 26 tahun. Tapi, putri bungsu Dr Sjahrir, ekonom yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden, ini terkena penyakit langka. Setiap hari, dia merasa tulang-tulangnya nyeri, bahkan seperti mau patah. Meski demikian, penyakit itu tidak membuat dirinya menyerah untuk terus berkarir di level internasional.

“Saya sebenarnya sedang sakit. Sekujur tubuh ini sakit luar biasa,” katanya. Ketika dia berkata seperti itu, Jawa Pos awalnya tidak percaya. Sebab, dia tidak terlihat merintih. Wajahnya pun tidak mencerminkan sedang meringis kesakitan. Bahkan, ketika mengambil minuman, gadis 26 tahun itu berjalan cepat. “Saya sudah terbiasa menahan sakit seperti ini,” ujarnya.

Wanita kelahiran Boston 5 Oktober 1981 itu saat ini menjabat regional manager AES (Alternative Energy Source) untuk wilayah Asia dan Timur Tengah. Terkait dengan tugasnya itu, dia lebih banyak melakukan perjalanan ke beberapa negara.

“Aku sudah di Amerika sejak lahir,” ujarnya, memulai bercerita.

Saat kecil, Gita bersekolah di Cambridge Massachusetts. Dia pernah ikut pulang ke Indonesia bersama sang ayah selama tiga tahun. Ketika itu, dia bersekolah di SMP Tarakanita, Jakarta. Menjelang naik kelas III SMP, Gita kembali melanjutkan sekolah ke Amerika. Di sana, dia masuk preparatory school selama empat tahun hingga lulus high school (SMA).

Ketika kembali ke Amerika itu, Gita menyewa apartemen kecil di Andover. “Sejak itu, aku harus tinggal sendirian,” ceritanya.

Seperti halnya mahasiswa Indonesia yang kuliah di Amerika, Gita juga melakukan pekerjaan sampingan (part time) untuk menambah uang makan. Beberapa pekerjaan pernah dia jalani, antara lain menjadi asisten profesor hingga menjadi baby sitter.

Lulus high school, Gita melanjutkan kuliah di Universitas Chicago. Jurusannya Political Science dan lulus pada awal 2004. Namun, tiga bulan setelah kelulusannya itu, petaka datang. Saat itu, ketika bangun tidur, Gita tiba-tiba tidak bisa menggerakkan anggota badannya. Setiap kali ingin bergerak, dia merasakan sakit yang luar biasa. Ketika dia paksakan untuk bergerak, dia pun pingsan. “Aku nggak tahu. Katanya, saat itu pingsan sehari. Rasanya sakit sekali. Tubuhku demam sampai 104 Fahrenheit [atau 40 Celsius]. Paru-paruku juga gagal. Ketika sadar, aku sudah di rumah sakit dengan beberapa tabung oksigen di sekelilingku,” paparnya.

Selama dua bulan di RS, dokter yang merawat tak tahu penyakit Gita. “Menurutku, saat itu mereka tidak tahu apa yang terjadi padaku. Karena penyakitnya memang langka, tidak semua orang tahu. Di Amerika atau Singapura saja, mungkin cuma segelintir yang kena,” tuturnya.

Gita menduga, mungkin di Indonesia ada juga beberapa orang yang terkena penyakit yang diketahui bernama Still’s Disease itu.

Dalam diagnosis dokter, kata Gita, sel-sel darah putihnya kehilangan kemampuan untuk membedakan antara sel-sel tubuh yang sehat dan bakteri atau virus yang merusak tubuh. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh penderita penyakit ini justri menyerang jaringan tubuh yang sehat dan menyebabkan peradangan serta nyeri sendi.

Hampir tiga bulan, Gita tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya di rumah sakit tersebut. Kehidupannya sangat tergantung orang lain. Bahkan, untuk mandi sekalipun, dia harus meminta tolong seseorang. Berbagai pengobatan dia jalani. “Obat-obatnya sih sama dengan obat penyakit Lupus, cuma ini lebih berat. Karena kalau capek, aku langsung pingsan,” tambahnya.

Setelah masa tiga bulan lewat, Gita mulai belajar berjalan. Meski tulang-tulangnya terasa remuk, Gita bertekad kuat untuk bisa kembali berjalan seperti semula. Saat itu, untuk berjalan dalam jarak lima meter saja, Gita harus melakukannya dalam lima menit. Sangat pelan. “Rasanya seperti berjalan dengan seluruh tulang yang sudah patah. Sungguh sangat menyakitkan, tapi saya harus tetap berusaha,” ucapnya, tegar.

Akhirnya, Gita baru bisa berjalan tegap pada bulan kedelapan. Sejak saat itu, dia tinggal di apartemennya untuk memulihkan kesehatannya. Dokter menyarankan agar Gita tidak bekerja dulu agar cepat pulih. Sejak saat itu pekerjaan Gita hanya membaca dan menonton TV untuk mengusir kebosanan. Namun, dia merasa tidak betah hidup seperti itu terus-menerus. “Aku sebenarnya nggak kuat kalau hanya diam seperti itu,” tuturnya.

Meski telah menjalani pengobatan hampir setahun, penyakit Gita tidak lantas hilang. Rasa sakit seperti rematik di persendiannya itu berlangsung setiap hari, hingga saat ini. Tapi, Gita harus mengabaikan rasa sakit itu karena tidak ingin dikasihani orang lain. “Kalau Anda pernah patah tulang, seperti itulah rasanya setiap hari. Kalau rating sakit 10, mungkin di hari biasa skornya cuma 3-4 saja. Kalau 10, aku langsung masuk rumah sakit. Setiap hari seperti itu, sekarang juga,” jelasnya.

Meski dokter memvonis penyakitnya tidak bisa disembuhkan, Gita Rusminda tidak putus asa. Gadis 26 tahun putri ekonom Dr Sjahrir itu tetap bersemangat melanjutkan hidup, pekerjaan seberat apa pun dia lakoni. Dia juga berencana menikah dalam waktu dekat.

Meski menderita Still’s disease—sejenis penyakit rematik yang tergolong langka sejak empat tahun lalu—Gita tidak ingin memperlihatkannya kepada orang lain.

Tatkala berbincang dengan Jawa Pos, Gita mengungkapkan, sesungguhnya dirinya merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuh. Tulang-tulangnya seperti patah. “Tapi, aku sudah biasa menahan sakit ini,” ujarnya, enteng.

Gita menceritakan, setiap hari, setelah terkena penyakit itu, dia berlatih menggerakkan anggota badannya. Upaya ini membuat kondisi tubuhnya semakin kuat. “Awalnya, saya latihan jalan di sekitar apartemen. Lama-lama meningkat mengitari blok. Tanpa saya duga, saya akhirnya mampu berlari,” tuturnya. “Jadi, berlari sambil merasakan sakit,” imbuhnya, tertawa lepas.

Dokter di Amerika terkejut ketika mengetahui perkembangan Gita. “Wow. Tidak ada seorang pun yang seperti kamu. Sungguh ini suatu mukjizat,” ujar gadis yang saat ini bekerja di kantor perwakilan AES di Singapura tersebut, menirukan dokternya.

Menurut Gita, kemajuan yang dia peroleh menyangkut kondisi tubuhnya terjadi berkat semangat hidup. “Jika tidak memiliki semangat, seorang penderita Still’s disease pasti akan malas-malasan bergerak melawan sakit di dalam tubuhnya,” katanya.

Menyadari kondisi fisiknya yang semakin kuat, keinginan Gita berkembang. Dia tidak ingin hari-harinya habis di apartemennya di Andover, Amerika. Gita lantas berniat mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya. Selanjutnya, Gita melamar ke sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangkit listrik, yaitu AES. Singkat cerita, dia diterima karena telah memenuhi semua persyaratan.

AES lantas menugasi Gita ke kantor cabang di Singapura. Di sana, dia menangani pembangunan pembangkit listrik tenaga alternatif di wilayah Asia dan Timur Tengah. Tiba di Singapura 17 Agustus 2005, awalnya Gita diberi tugas di bagian business development. Dia harus menjelaskan kepada klien tentang potensi pembangunan pembangkita listrik tenaga alternatif, salah satunya geotermal (pembangkit listrik tenaga panas bumi).

Meski pendidikannya ilmu politik, Gita mengaku tidak kesulitan menjalankan pekerjaan itu. Sebab, selama kuliah di Universitas Chicago, dia mengambil kurikulum tambahan untuk mempelajari ilmu-ilmu lain. “Seperti ilmu pengetahuan alam, sosial, biologi, mereka mengajari aku apa saja. Jadi lebih fleksibel dan bisa melakukan pekerjaan apa pun. Pekerjaan harus dipelajari saat itu, bukan di sekolah,” tambah gadis yang mengaku tidak suka difoto tersebut.

Semangat hidup kembali berkobar di hati Gita ketika memulai pekerjaan di Singapura. Dia tidak ingin menyerah. Meski setiap hari, setiap menit, dan setiap detik seluruh bagian tubuhnya bagai ditusuk-tusuk. Dia merasakan nyeri dan linu yang luar biasa.

“Aku sampai nggak bisa mengatakan yang mana-mana. Pokoknya di seluruh tubuhku. Aku menjadi terbiasa dengan rasa sakit ini, so it’s okay,” ungkapnya cuek.

Etos kerja yang tinggi, ditambah semangat untuk hidup, membuat Gita seolah lupa memikirkan penyakitnya. Siang-malam dia bekerja, terkadang harus pulang pukul 2 pagi, lantas bangun jam 5 pagi, lari-lari di sekitar apartemen, kemudian baru berangkat kerja lagi. Begitulah kegiatannya setiap hari di Singapura. “Ya kalau ada pekerjaan yang mesti diselesaikan sekarang, maka harus selesai sekarang. Apalagi kalau ada deadline-nya,” cetusnya.

Lantaran begitu asyik bekerja, Gita tidak menyadari bahwa tubuhnya butuh istirahat. Dia lupa ada penyakit ganas yang siap menyerang tubuhnya jika sedang capek. Beberapa kali, ketika sedang berada di kantor, Gita tiba-tiba merasakan sakit itu dan akhirnya tidak sadarkan diri. “Tahu-tahu saya sudah di rumah sakit. Kepala berdarah karena berbenturan dengan meja saat aku pingsan,” ceritanya.

Tapi, kondisi itu tidak menyurutkan langkah Gita. Menurut dia, masih banyak yang bisa dilakukan dalam hidupnya dan dia tidak ingin berhenti begitu saja di tengah jalan. Dia bahwa sering merasa tertantang melakukan sesuatu pekerjaan yang menurut orang lain sulit dilakukan. “Kalau di kantor ada yang bilang itu sulit, aku justru berpikir, itu akan jadi tantangan menarik buat aku, Oh yeah..aku bisa kok,” lanjutnya.

Sifat ambisius itulah yang menurut orangtuanya bisa membahayakan jiwa Gita. Berkali-kali orang tuanya mengingatkan Gita agar mengurangi aktivitasnya. Namun, Gita tidak bisa seperti itu. Menurut dia, hidup harus terus berjalan. “Kita tidak bisa berhenti begitu saja. Tapi, sekarang aku lebih moderat. Pulang sore nonton TV, malam hang out, ya patuhlah ama orangtua,” paparnya.

Meski begitu, setiap sore, Gita tetap tidak bisa diam. Beberapa kegiatan dia jalani. Setiap pulang kantor, dia ikut kursus bahasa Jerman, Jepang, dan menjalani hobinya berlari dan berdansa. “Aku bisa berlari sekarang. Desember tahun lalu aku ikutan kejuaraan maraton 21 kilometer di Singapura,” lanjutnya.

Bagaimana soal pacar? Gita ... saat ini sedang berpacaran dengan seorang pria asal Malaysia, namun mempunyai garis keturunan dari Jawa, Indonesia.

Bahkan, hubungan mereka sudah serius dan berencana menikah Agustus mendatang. Apakah sang pacar sudah mengetahui penyakit Gita? “Dia tahu. Dia bisa menerima karena ibunya meninggal setelah terkena penyakit lupus, yang gejalanya hampir mirip dengan penyakitku,” katanya seraya merahasiakan nama sang pacar.

Soal penyakitnya, Gita sama sekali tidak takut memberitahukan ke pacarnya yang sama-sama bekerja di Singapura itu. Menurut dia, kejujuran di awal akan lebih baik daripada diketahui belakangan. Selain itu, dia juga mengaku bukan tipe wanita yang takut ditinggalkan oleh pria.

Yang penting, menurut Gita, hidupnya harus terus berarti buat orang lain. Meskipun dokter sudah memberi tahu bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan, hanya dikurangi rasa sakitnya. Hidup harus terus berjalan meskipun beriring dengan rasa sakit. Gita bahkan berniat mengambil kuliah lanjutan (master) di Amerika Serikat. “Saya akan ambil MBA di University of Pennsylvania. Mungkin sebentar lagi,” lanjutnya.

Ketegaran Gita Rusminda dalam menghadapi penyakit yang langka dan dinyatakan tak bisa disembuhkan patut dijadikan contoh. Sejak dinyatakan sakit, dia tak pernah putus asa dan tak pernah menggantungkan hidup kepada orang lain, termasuk kedua orangtuanya.

“Aku sudah terbiasa mandiri sejak kecil,” katanya, tegas.

Gita menceritakan, ketika kebingungan mencari pekerjaan setelah lulus kuliah dari Jurusan Political Science, Universitas Chicago, Amerika Serikat, pada 2004, dirinya tak mendapatkan bantuan sedikit pun dari sang ayah. “Ayah hanya berpesan, carilah pekerjaan yang sesuai dengan keinginanmu. Sebab, untuk hidup, kamu harus berusaha sendiri,” papar Gita, menirukan nasihat ayahnya. Gita pun mencari pekerjaan sendiri.

Dan, saat ini, Gita hidup mandiri di Singapura.

--Sumber: Jawa Pos, 24-26 April 2008

0 komentar:

cerita « WordPress.com

Koran Republika :: Dialog Jumat

BBCIndonesia.com - Laporan Mendalam

Home | About Me | Contact

Copyright © 2008 - M Shodiq Mustika

Header Image credit: adapted from Memoirs of a Geisha Wallpapers

  © 2009 True Story template by M Shodiq Mustika

Back to TOP